Sabtu, 15 September 2018

MENENANGKAN PROTES DENGAN GARPU TALA

By: Nasrullah

Hari masih pagi, saya masih ingin rehat setelah agenda camp di pekanbaru selama 3 hari.

Nampaknya pagi itu saya belum diizinkan rehat. Anak2 santri datang ke rumah. Serombongan besar. Agak terkejut juga karena tidak ada janji.

Dengan tubuh yang masih lunglai, saya bersiap ke bawah menemui anak2 mulia itu. Dengan Sarungan, koko dan peci hitam, saya siap menemui mereka.

“Assalamu ‘alaikum ustadz...” seru mereka serempak. Sejurus kemudian, tangan mereka satu per satu menggamit tangan saya dan menciumnya khidmat. Sungguh, bahagia rasanya merasakan khidmat mereka. Tak terlukiskan dengan kata2. Langsung saja saya dapat energi. Seketika saya kehilangan rasa penat yang sedari pagi menyelimuti seluruh sel. Berganti dgn semangat melihat anak2 santri yang lugu, bersih dan terlihat bekas tahajjud.

“Ada apa? Koq ga pada sekolah?” Tanya saya menunjukkan nada keheranan.

Jundi langsung membuka pembicaraan, mewakili teman2nya.

“Begini ustadz... kami ga siap jika Ust Zaenal keluar dari pesantren.”

“Oh, ada kabar begitu?” Tanya saya, sambil membuka handphone dan memeriksa apakah ada pesan masuk dari Ust Zaenal. Oh ternyata ada. Pagi itu juga beliau menyatakan keberatannya atas keputusan kepala pesantren, Ust Ali Murtadho.

Saya baca perlahan pesan itu, memang ada nada kekecewaan di sana. Tapi, rasanya ini hanya tidak sefaham. Ust Ali ingin peningkatan kualitas guru, dan ust Zaenal tidak siap. Sesuatu yang biasa sebenarnya, tapi mungkin ada ketidak-tepatan dalam menyikapi, hingga timbul syak wasangka.

“Mestinya ust Zaenal dong yang ketemu Ustadz” seru saya. “Kenapa harus kalian yang ke sini?” Sambil saya menelisik adanya semacam gerakan protes. “Gimana ceritanya?”

“Gini ustadz, tadi pagi, ust Bahron dan ust Romi memutarkan video tentang kualitas tajwid dan ust Zaenal langsung bilang, dia siap untuk keluar dari pesantren. Kami ga siap kalau ust Zaenal harus keluar ustadz” cerita Jundi.

“Uje baik ke kami ustadz” sahut santri yang lain.
“Kalau ga ada Uje ga rame ustadz” seru yang lain.

Saya mengangguk-angguk. Perlahan saya mencoba mencerna kerisauan anak2 santri.

Jundi menyerahkan secarik kertas. “Apa ini?” Tanya saya. “Itu surat yang diajukan ust Ali ke Uje”

Saya baca dan isinya persis seperti yang dikirim ust Ali ke saya. Saya sudah setuju dengan catatan Ust Ali bicara baik-baik ke Uje. Dan laporan ust Ali hal itu sudah dilakukan. Ok, ini memang persoalan antar guru. Tapi tidak sepatutnya anak-anak santri ini dilibatkan. Biar mereka fokus pada pelajarannya.

“Koq kalian bisa dapat surat seperti ini? Ini kan urusan guru? Sesuatu yang biasa kan antar-guru bersurat. Apalagi ini dari ust Ali yang sudah ustadz Nas tunjuk sebagai kepala pesantren? Sebuah surat standar yang ditujukan untuk peningkatan kualitas bagi Uje?” Tanya saya sambil mencoba meluruskan langkah mereka yang mengajukan protes tidak pada tempatnya.

“Jika kalian belajar sungguh2, pantas kah jika guru juga terus belajar?” Tanya saya.

“Pantas ustadz” jawab mereka bersamaan.

“Ada pepatah mengatakan, guru kencing berdiri, murid kencing...” saya tunggu jawaban dari mereka.

“Berlariii” sahut mereka bersamaan, sambil ada sebagian yang mulai tersenyum. Saya mulai melihat wajah yang tidak lagi menegang. Saya mencoba mengajak mereka santai.

“Ya, jadi... ini adalah program peningkatan. Agar pesantren kita meningkat mutunya. Setuju ga kalau pesantren kita tambah baik?”

“Setuju ustadz” sahut mereka lagi.

Ya sudah... itu ada Al-Qur’an. Ayuk kita pakai Garpu Tala. Ada 3 santri yang memegang Al-Qur’an. Jundi, Adam dan Rijal.

Saya bimbing mereka untuk self-talk “Ya Allah... ada peristiwa di Pesantren, saat ust Ali sebagai kepala pesantren meminta agar Ust Zaenal meningkatkan kualitas tahsinnya. Tapi sepertinya komunikasi yang terjadi membuat keadaan di pesantren tidak nyaman. Ya Allah, titipkan lah satu ayatMu yang membuat kami, anak2 santri, bisa jauh lebih tenang dan memiliki sikap yang lebih baik... “ lalu mereka membaca al-fatihah bersama-sama.

Jundi terbuka ayat : “bertakwalah kepadaku dan taatlah”

Rijal bertemu dengan ayat “maka bersabarlah”

Adam dapatkan ayat tentang “kesepakatan untuk membuat Ust Zaenal masuk dalam goa keajaiban yang membuatnya akan dapatkan masa depan yang lebih baik”

Mereka saling menatap satu sama lain. Ada senyum yang mengembang di antara mereka.

Tugas saya jadi jauh lebih ringan. Allah telah menjawab semua rahasia dibalik kejadian ini. Sekaligus menuntut anak-anak santri untuk taat dengan peraturan pesantren, serta bersabar dalam menjalankannya.

Gorengan dan teh manis datang. Saya ga sempat kasi kabar ke orang rumah bahwa anak2 sedang puasa. Hidangan sudah “terpaksa” terhidang.

“Nah... Alhamdulillah, karena sudah ada makanan di depan kita, silahkan di makan dulu” ujar saya diikuti riuh tangan2 mereka menggenggam makanan yang tersedia.

Saya melihat hape karena ada whatsapp yang masuk. Garpu tala dari ust Zaenal.

“Sy sdh garpu tala mendapat pentujuk Alloh di ayat 16 surat al kahfi” begitu bunyi tulisan itu.

“Ya, antum diminta utk belajar lagi sama Allah” sahut saya. “Bisa juga antum pakai ilmu Garis Kebenaran” tambah saya lagi.

“Ya stadz sy pakai trus ilmu ust, Alhamdulillah ust sdh ajarin sy ilmu magnet rezeki, sehingga sy lbh tenang. Sy akan duduk d taman indah” jawab ust Zaenal meyakinkan saya bahwa dirinya sudah menerima keputusan kepala pesantren.

Saya menatap anak2 yang sedang makan dengan riang. Terbit rasa syukur, atas ilmu Magnet Rezeki yang telah dititip kepada kami. Indah, saat semua persoalan kami bisa diselesaikan dengan kekuatan ilmu dan Al-Qur’an.

Satu persatu anak-anak pamit, kembali menggamit tangan saya dan mencium dengan khidmat.

Sambil punggung-punggung mereka perlahan menjauh dari saya, lamat-lamat, syair doa berputar di kepala saya... “Allahummarhamna bil qur’an... waj’alhulana imaamam wa nuuroo wa hudaw warooohmah...”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar